Thursday 15 July 2010

HIKMAH PERJALANAN KE KAMPUNG SANTRI LIRBOYO



Hari minggu sekitar jam 14:00 aku meluncur bersama bang Bakar menuju tanah yang berpenghuni ribuan santri. Sekitar perjalanan baru menempuh jarak 1km hujan turun dan kamipun harus mengenakan mantel. Sebelum meneruskan perjalanan, setelah selesai mantel di pasang kamipun langsung meluncur menuju tanah pesantren di kota Kediri. Di tengah perjalanan suara rintik-rintik hujan bagai stik yang mengetuk di tiap dinding mantel yang kami kenakan hingga suara hujan bagai musik di tengah perjalanan.
Tanpa terasa, karena mantel yang di kenakan ternyata tidak sampai menutupi seluruh badan, di tengah perjalanan di bagian punggung terasa mulai dingin yang sudah tersentuh oleh air hujan bahkan separuh celana yang kami pakai sedikit demi sedikit juga mulai membasah dan sepatupun yang kami pakai tanpa terasa telah berisi air. Baru kami sadari bahwa hujan yang kami lalui dalam perjalanan memang cukup deras yang menemani perjalanan kami mulai dari kota Malang sampai di perbatasan memasuki kota Kediri tepatnya di waktu kami memasuki gerbang kota Kediri itu hujan sudah mulai reda.
Sebelumnya di tengah perjalanan, kami sempat berhenti untuk menikmati istirahat agar bisa menghilangkan lelah dan rasa kedinginan. Kebetulan di pinggir jalan sebelum mamasuki kota Kediri kami menjumpai masjid yang kami lupa namanya disanalah kami beristirahat sambil mencuci muka, sebenarnya kami punya niatan sholat ashar tapi berhubung pakaian yang kami kenakan basah akhirnya kami memutuskan untuk di jama’ ta’khir sesampainya di tanah Lirboyo.
Tak lama kemudian setelah istirahat kami rasakan cukup kami melanjutkan perjalanan, setelah lepas sekitar +5 km dari tempat kami beristirahat di sisi kiri jalan ada warung mie ayam dan bakso kamipun memutuskan untuk membeli bakso dulu sebelum melanjutkan perjalanan agar bisa memulihkan tenaga. Berhubung kami melihat warung bakso itu telah terlewati beberapa meter terpaksa kami harus belok memutar arah lagi, dan disaat memutar arah itulah sedikit terpeleset untungnya kami tidak apa-apa cuma motor yang kami kendarai sempat berbaring sesaat dan bergegas langsung kami berdirikan lagi kemudian dibelok dan dihidupakan terus berangkat tepat di depan warung bakso kami berhenti untuk membeli bakso.
Sehabis bakso yang kami nikmati, kami melanjutkan perjalanan lagi dalam suasana yang berbeda, hujan hanya tinggal rintik-rintik gerimis saja. Sekitar baru lima meter beranjak dari tempat kami mebeli bakso langsung memasuki kota Kediri. Tapi keadaan sudah bisa dirasakan agak tidak enak disamping pakaian telah basah badan juga sudah terasa lelah dan suasanapun seakan kurang mendukung karena agak gelap sebab matahari masih tertutup mendung. Numun dibalik itu seakan ada angin segar dalam perjalanan bahwa tak lama lagi untuk sampai di halaman pesantren yang bertembok tebu-tebu berderet di sepanjang jalan. Sekitar jam 16:30 kamipun sampai di halaman Lirboyo, setelah istirahat sejenak lalu berkenalan dengan beberapa santri yang masih temannya teman saya ketika mondok dan kemudian di pinjamin pakain lalu kami mandi terus sholat, tak lama kemudian manghribpun tiba sebagai hari pertama saya mendengar suara adzan di kampung santri pesantren Lirboyo.
Setelah suasana manghrib telah berlalu temen saya suwan ke kyai dan saya tetap di ruang pondok sambil melanjutkan ngobrol sama seorang santri yang sudah sekitar 20 tahun menjadi santri di Lirboyo ini, kemudian banyak bercerita tentang pengalaman bahwa pernah menempuh jalan kaki ke asta Batu Ampar yang ada di pamekasan Madura. Secara tidak langsung selama menempuh perjalanan nadzar ini ialah untuk membuktikan adanya konsep barokah, sebab dia bercerita sebelum menempuh nadzarnya itu dia pamit ke pengasuhnya dan di izinkan dengan hanya membawa bekal uang 7000 rupiah dengan aturan tidak boleh naik kendaraan, berhubung untuk sampai ke pulau Madura harus nyebrang sesampainya di Kamal dia naik perahu. Singkatnya selama kurang lebih satu minggu dengan uang yang terbatas dia bercerita tidak pernah kekurangan makanan selalu ada saja yang ngasik paparnya. Saya sempat berpikir dalam hal ini, bahwa jarang akan terjadi terhadap orang-orang yang di luar lingkungan pesantren.
Berhubung waktu telah memasuki waktunya sholat isya’ kami ngobrol dicukupkan hanya demikian. Tak lama kemudian kami menjumpai hal sebagaimana yang di sampaikan oleh Mustafa Bisri tentang santri-santri anyar yang “menghafal I’lal”, di setiap kami jumpai dari para santri lengkap dengan kitab yang diletakkan tepat di depan dadanya. Sungguh ini suatu pemandangan yang sangat indah dan juga asing buat saya secara pribadi. Dan hal ini sempat membuat saya berpikir bahwa ilmu adalah milik semua orang yang mau belajar yang berbeda dengan dunia Universitas kalau pengetahuan seakan milik orang-orang yang ber-uang di antara sekian ribu impian dan cita-cita tak bisa sampai untuk meraihnya.
Sungguh indah kebersamaan di dunia pesantren, perbedaan seakan hilang menjadi satu rumpun dalam kekeluargaan. Setiap kumunitas-komunitas kecil terhimpun dalam satu halaqah pengajian yang mengajarkan kesederajatan di balik makna kitab-kitab tua yang telah menjadi ruh penyambung hikmah dalam nafas pesantren sepanjang masa. Menyaksikan suasana yang demikian sungguh secara pribadi merasa terharu berada dalam lingkungan di tengah ributnya para santri merebut posisi tempat mengaji.
Kira-kira pengajian santri telah berlangsung temen saya datang yang suwan ke kyai, kemudian mengajak jalan-jalan ke bazar yang di gelar dalam rangka satu abad beridirnya Lirboyo. Berhubung dalam perjalanan menuju bazar sepatu saya dalam keadaan basah akhirnya berjalan ke area bazar gak pakek sandal (nyeker). Sesampainya di tengah deretan bangunan tempat mondok para santri, saya sempat berpikir seumur-umur baru pertama kali menginjakkan kaki di tanah Lirboyo dan itupun yang paling berkesan bagi saya seakan wajib bagi tidak menggunakan alas kaki (selintas terbesit dalam hati kejadian itu bagai keajaiban).
Tiap melewati blok-blok asrama para santri saya di kasik tahu sama temen saya tentang asrama yang pernah di tempati seperti Mustafa Bisri, Said Agiel dan sebagainya. Seterusnya saya juga di tunjukkan pada tempat-tempat yang di angkat oleh Mustafa Bisri yang menjadi puisi yang khas pencitraan Lirboyo, tentang lampu yang kini telah berganti petromak dan semacamnya. Dan yang paling membuat saya merasa terkesan ketika melewati deretan panjang tempat suci yang disediakan untuk tapak kaki, sungguh hal itu merupakan sesuatu yang teramat antiq buat saya. Karena batu-batu itu bisa dimaknai telah mampu mendorong terjaganya kesucian di kalangan para santri. Mungkin jika kita tidak menyadari secara maknawi hal itu sesuatu yang remeh tapi secara pribadi hal itu bisa membawa hikmah yang luar bisa dengan seizin Allah di tempat itu yang mendapat petunjuk hidayah.
Logikanya demikian jika santri telah terbiasa suci dengan sesuatu yang diluar dirinya bukan tidak mungkin dia juga mampu mensucikan raga dan batinnya. Hal yang seperti ini yang jarang di budayakan di tempat-tempat di luar lingkungan pesantren. Pada hal, ini sesuatu yang sangat dasar untuk bisa membedakan antara suci dan kotor. Pembiasaan itu telah mampu menciptakan terhadap karakteristik dalam mengasumsikan suatu tempat atau barang terhadap jaminan kesucian dan kenajisannya.
Berkisar sepuluh menit tanpa terasa kami berdua telah berada di area bazar yang berisi aneka ragam orang berjualan dan tempat bermain anak-anak. Di tempat ini akhirnya saya juga membeli sepatu berhubung memang merupakan kebutuhan di sisi lain karena saya memang tidak memakai alas kaki, setelah di beli langsung saya pakai sampai selesai mengelilingi bazar tempat berjualan buku-buku yang masih sedikit yang telah datang, mungkin karena acaranya masih dua atau tiga hari lagi.
Sehabis itu kami menuju pulang ke tempat temannya teman saya untuk menginap. Sesampainya di dalam area pondok saya melepas lagi sepatu yang saya kenakan kemudian saya membasuh kaki terus saya menikmati menapakkan telapak kaki di atas batu-batu suci, hitung-hitung menikmati kebiasaan para santri. Ternyata pengalaman itu menjadi keunikan tersendiri yang dapat saya rasakan di tengah percakapan dengan temen saya yang sesekali menjelaskan “dhalem” masing-masing para pengasuh pondok pesantren Lirboyo. Selintas tiba-tiba saya berpikir dalam hati lagi seraya berdoa “semoga Allah juga memberikan hidayah kepada kami sebagaimana para beliau-beliau yang telah mampu menjadi hamba-Mu ya Allah sehingga mereka mempunyai kemampuan dalam mencapai kemulyaan seperti yang Engkau janjikan dalam kandungan Al-qur-an”.
Menikmati suasana di lingkungan pesantren Lirboyo seakan mencipta keindahan tersendiri, dan yang lebih membuat saya berpikir ketika di tunjukkan oleh temen saya pada pintu gerbang utama yang diabadikan ditengah bangunan yang saat ini katanya berubah total. Menyaksikan gerbang yang diabadikan tersebut seakan memaksa saya mencoba menerka betapa sederhananya bangunan pada saat ini yang sekarang telah menjadi istana pesantren, dalam hal ini juga terlintas betapa tingginya semangat para pengasuh sehingga saat semuanya bisa kelihatan menjadi megah. Sungguh gerbang itu menjadi estetika yang luar biasa yang menyimpan berjuta makna sebagai saksi bisu yang dapat menjelaskan bahwa Lirboyo pada asal mulanya memang seperti yang terlihat dalam gerbang itu sendiri.
Seusai mengamati berbagai munomen sejarah Lirboyo masa lampau saya melihat ada satu pohon yang lumayan besar yang masih berdiri tegak di tengah-tengah bangunan pondok para sanatri, dalam benak pikiran saya pohon itu merupakan sebuah simbol sebagaimana yang sering di contohkan ada pohon ilmu pengetahuan dan juga pohon keimanan. Tapi ini bukan berarti mempercayai pohon itu punya kekuatan lho…, hanya saja sebuah gambaran bahwa kesatuan yang kuat seperti berdirinya pohon yang kuat dengan akar yang kokoh, batang yang lurus, cabang, ranting dan daun-daun yang mengimbangi keutuhan pohon itu sendiri, itu sebuah kesatuan yang sempurna dimana akar menyerap sari-sari bumi dan ranting-rantingnya menghasilkan buah, sementara dedaunanannya melindungi semuanya.
Tanpa disadari tiba-tiba kami telah berada di depan pondok yang jadi tempat kami menginap pada malam itu, lalu kami masuk dan beristirahat sejenak kemudian mencari makan, setelah selesai makan terus langsung pulang ke tempat yang tadi itu. Berhubung jarum jam mungkin telah mengarah ke angka 22:00 kami langsung membaringkan badan untuk tidur, tetapi sebelum tertidur tiba-tiba teringat kalau malam itu adalah malam final piala dunia akhirnya tak luma saya mengaktifkan alarm Hand Phone tepat pada jam 1:30 agar bisa menyaksikan laga Spanyol VS Belanda demikian pikir saya.
Ternyata amat luar biasa alarm itu sangat amanah dan tepat waktu membangunkan saya dari tidur untuk menyaksikan malam puncak piala dunia, yang katanya temen-temen di Lirboyo adalah acara akbar dunia sepak bola 2010. Sehabis itu saya langsung bergegas cuci muka ke kamar mandi dan langsung beranjak menuju halaman layar lebar yang di gelar oleh para santri. Setelah sampai di depan halam layar lebar mata saya langsung menyaksikan dua kesebalasan Spanyol dan Belanda yang sedang menyanyikan lagu kebangsaan masing-masing, dan sayapun langsung mencari tempat duduk yang nyaman.
Setelah pertandingan di mulai sudah semakin tanpak mana pendukung Spanyol dan pendukung Belanda sebagaimana nobar di tempat-tempat lain. Artinya kebanggaan terhadap team yang didukung tak ada perbedaan antara santri dan bukan santri, hanya saja perbedaannya kalau nonton di luar lingkungan pesantren seringkali terdengar kata-kata seperti “hancrit ataupun kalimat asuh..!”, disinilah letak perbedaannya yang sangat menonjol bahwa di lingkungan pesantren itu ternyata berpengaruh terhadap identitas tiap-tiap pribadi dengan nilai kesantriannya.
Sepanjang pertandingan berlangsung tak ada perbedaan dengan di tempat-tempat lain bahwa penonton juga tak kalah seru dengan tingginya tensi pertandingan melalui suara saling mendukung menjadikan suasana menjadi ramai, tetapi dengan suasana damai. Sampai pertandingan usaipun suasana tetap berjalan damai tanpa ada ejek-mengejek yang sampai melibatkan ketegangan emosi dalam hasil akhir sepak bola akbar dan Spanyol keluar sebagai juara dunia. Usainya pertandingan ternyata jam sudah menunjukkan sekitar +4:00 sayapun gak tidar lagi menunngu mendengar adzan subuh sebagai epilog yang mendengar pertama kali adzan mangrib di tanah Lirboyo tersebut.
Adzan selesai saya langsung sholat karena punya rencana balik pagi-pagi agar sampainya di Malang tidak terlambat datang di tempat kerja. Sekitar jam 5:30 saya mengajak teman untuk berangkat pulang karena dia juga telah siap-siap rupanya, tak lama kemudian langsung meluncur menuju kota Malang di cela-cela cahaya matahari yang masih memerah di ufuk timur. Sungguh itu perjalanan menuju kembali ke kota malang yang menyenangkan, meski saya sempat sedikit tertidur di atas motor, untungnya tak apa-apa gak sampai terjatuh. Sesampainya di daerah pegunungan suasana dingin masih terasa mencekam yang berdinding di balik kabut-kabut tipis yang menyapa di sepanjang perjalanan pulang ke kota Malang.
Ending kisah perjalanan ini sekitar jam 8:15 kami berdua nyampek di kota malang dalam keadaan selamat. Kemudian saya langsung ganti baju sehabis itu berangkat ke tempat kerja, sebenarnya sih dalam keadaan lelah dan payah tapi itu adalah kewajiban apapun konsekwensinya ya tetap harus datang. Berhubung teramat ngantuk sebelum jam kerja habis saya akhirnya pamitan pulang, sesampainya di kontraan langsung merebahkan badan tanpa saya sadari mungkin saat itu saya telah berada dalam keadaan tertidur.
Tapi ternyata perjalanan itu sungguh banyak hikmahnya, yang rasanya ada pelajaran yang sangat bermakna dalam dunia pesantren. Ada nilai sejarah yang menjadi motivasi, meski di Lirboyo sana saya hanya bisa sepintas mengamati terhadap aneka ragam sejarah yang telah terjadi dan juga terhadap budaya yang menjadi tolak ukur etika para santri. Semoga saja dunia pesantren di Indonesia ini tetap mampu menjadi sendi-sendi peradaban sepanjang zaman. Amien……

Thursday 20 May 2010

NAFAS CINTA YANG TERPENJARA

CATATAN KE I
Pada suatu kejadian yang sangat berarti ketika mata menjabat rasa menjadi sahabat jiwa.Waktu itu bertetan liburan semesteran. HMJ mengadakan Baksos yang menjadi jalan aku menuju pencarian yang sangat menakjubkan. Sebenarnya tak pernah terlintas dalam bayangan dan pikiran bahwa jiwa ini akan menemukan sosok pujaan yang tercipta jadi kenangan panjang. Berawal dari saling bertanya nama, semakin hari terasa semakin menajadi keindahan dalam bayangan. Sehingga pada suatu hari seakan waktu memberi kesempatan untukku, hingga aku sempat menemaninya ketika dia bermain game soliter di lab Madrasah ditempat baksos dilaksanakan. Kemuadian teriring hari yang semakin dewasa aku mengenal dia dalam sopan santun yang membuat aku terpesona, aku minta nomer HP-nya dan dia memberinya seakan semudah rasaku yang ingin mekar dalam cinta. Dan dalam kesempatan waktu disaat temen-temen semuanya dalam keadaan yang sangat sibuk, aku sempat membaya digital yang merupan pasilitas baksos, lalu akupun sempat mengambil gambarnya dia orang yang sangat menjadi pujaan dalam sanubari yang tak kuasa aku ingkari.Semakin hari rasa kagumku semakin terjadi, lalu aku meminta izin pada gadis ini untuk mencetak fotonya untuk aku jadikan penenang dalam bayangan yang terus meronta untuk aku jujur dalam rasa cinta.

Karena dalam cerita hatiku gadis ini telah menjadi tujuan untuk aku membangun cinta bersamanya, seakan kata hati selalu bercerita tentang cantiknya dia dan bayangan indah sopan tingkahnya menjadi lemahku dan seakan mengharuskanku untuk belajar dalam berjalan dan menelusuri licin dan halusnya langkah cinta. Kemudian rasa ingin bertemu terjadi terus-menerus yang aku seakan tak pernah sadar kemampuan apakah yang telah menjadi api semangat ini. Keinginan untuk aku bisa memandangnya, memebuat aku harus mampir di tempat posnya dimana dia tinggal sewaktu di baksos itu. Tentu hal ini bukan suatu yang bisa ku lakukan dengan mudah, seakan tantangan untuk melawan peasaan untuk bisa saimpai risalah hati ini yang memberikan kesempatan aku berdusta walau pada perasaan diri.Setelah baksos usai, rasa jiwa sungguh menjadi utovia dalam rasa cinta yang hidup menjadi nafas bayangan dalan sanubariku.sesampainya di kontrakan, rasa kagumku tak bisa hilang dan tiba-tiba menjadi rindu yang terus hantui bayangan dari siang kemalam, dari malam ke siang lagi. Aku terus bertanya, apakah ini benar kekuatan cinta terus ku kayuh dalam gelisah memaksaku untuk SMS dia, aku bilang untuk menemuinya dan akupun bisa menemui dia di pondoknya yang jaraknya tidak jauh dari kampus hijau sebagai tempat cinta bercerita.

Dalam pertemuan ini waktu seakan memberikan kesempatan yang sangat singkat sekali, hingga aku hanya bisa ngomong beberapa kata dengan penuh kaku, karena emosi perasaan cinta seakan mamaksa untuk ungkapkan kejujuran hati, tapi aku sadari ini bukan waktu yang tepat, lalu aku pulang, tapi sesampainya di kontrakan rasa risau dan kegelisahan semakin terjadi.Sungguhlah ini perjalanan yang jauh, sampai aku temukan diriku dalam keadaan yang sangat lemah dan kuyup. Dayaku hanya ada dalam rasa cinta dan di paksa untuk aku menemukan gadis yang paling menjadi mawar hati yang indahnya hanya bisa tercium dalam bayangan. Sungguhlah gadis ini semakin hari semakin kuat menjadi gelombang hasrat yang terus menjadi mesin dalam jiwa. Tak kuasaku memenjarakan semuanya, lalu aku SMS dia lagi meminta menemuiku di kampus dan kebetulan waktu itu pemprogman kartu rencana study , diapun datang di kampus tempat yang aku janjikan, karena dia sambil lalu mau memprogram mata pelajarannya maka aku membantu dia dalam memprogram dan mengurus nilainya yang bermasalah, disinilah yang sempat aku sedikit bangga, melihat dia gembira ketika nilainya bisa di rubah setelah aku membantu mengurusnya dari nilai dua koma berapalah aku tak tahu, hingga menjadi tiga koma delapan.Seusainya proses tadi, karena waktu sudah siang lalu pulang besama dan berpisah di halaman kampus, aku menuju kontarakan dan diapun menuju pondoknya.

Dari kejadian yang telah terjadi menjadikan renungan semakin hidup dan hayalanpun semakin tinggi terbentang seluas cakra langit tuhan, aku tak tau lagi dan bahkan aku terasa tak mengerti yang semula tujuanku hanya kuliah, tiba-tiba cinta hadir memiliku menjadikan aku terlupa dalam sejenak akan pesan orang tuaku, akan tujuan masa depanku, seakan ini bagai kesuksesan yang tak dapat lagi untuk dibandiangkan, karena memang emosiku , perhatianku, seakan semuanya yang ada adalah milik cinta dan hidup dalam kasih sayang yang tulus yang lebi aku hargai dari pada ragaku sendiri.Ini kejadian yang aku rasakan keajaiban, kalapun banyak orang yang bilang kalau cinta adalah anugrah dari tuhan yang menjadi hukum alam di atas dunia yang sempurna ini. Aku terus bertanya, tapi tak dapat aku jawab dengan penjelasan kata. Keberadaanku menjadi gelisah dan merasa sakit yang tak dapat aku obati dengan obat, menajdi hausku yang panjang yang tak dapat aku hilangkan dahagaku dengan bening dan kejernihan air. Aku hanya bisa menjawab dengan suara hati kecil, dan kebenarannya hanya cukup untukku saja, mungkin inilah anugrah cinta yang aku benarkan dengan nuraniku sendiri.

Disinilah aku temukan kebahagiaan dengan apa adanya, terasa bagai kenyataan menikmati surga cinta, walau aku sadari adalah kemabukan dan kegilaan apa yang telah aku alami. Kemudian seiring detik yang berputar, hari silih berganti namun dia tetap menjadi bunga dalam ingatan dan pikiran. Aku semakin tak sanggup membawa perasaan yang semakin membakar dan menjalar dalam denyut nadiku, aku SMS dia lagi, seperti biasa ketemuan di kampus dan bertepatan karena waktu itu adalah hari liburan, diapun datang memenuhi undanganku.

Dari panjang perbincangan yang ku maksudkan untuk ungkapkan perasaan, emosiku menjadi musuhku yang sangat ulung, menyebabkan aku hanya bisa ungkapkan kata yang bisa aku lepas dibibirku yang gemetar bergelimang keraguan dan harapan, karena perasaan jiwa bagai badai menerjangku seketika, tapi aku paksakan melawan emosi ini lalu ku angkat dari rasa jiwa yang jernih kemudian ku bilang ” Aku Menyukaimu”, terlepasnya kata ini di lidahku menjadikan suasana yang anginpun seakan berhenti menjadi sunyi di sekelilingku. Kemudian kata singkat itu menjadi penjara dalam perasaan dan emosiku seakan suara yang lepas di bibirku bagai kutukan bagi hidup,seakan hanya untuk hidup terpungguk menunggu jawaban, hari demi hari HP di tunggu berdering, detik demi detik aku terus tanyakan kepada waktu bahkan di langit kamar hidup ku harap engkau menjadi lentera yang dapat terangi penantian ini, lalu sampil menunggu ku tulis sebuah puisi.

Di tengah malam tanpa suara

Ku duduk menanti di atas bumi buih.

Ku terasa meratap wajahmu pada bundar rembulan.

Terangi gelap di kelam hati ini.

Menantiku sepi seorang diri.

Bersama asa bayangan menari.

Saat cinta membelah jiwa.

Hangatkan rasa rindu membakar hati.

Engkau bagitu sejuk di kelopak mataku.

Engkau bagitu indah dalam lamunanku.

Menjelma di detik-detik ilusiku.

Terpancar yakin dalam ketulusan cinta bersemi.

Engkau menjadi bunga taman hati

Setelah aku tulis sajak itu aku tertidur, tapi perasaan terasa terus berjalan membata langkah dalam kehampaan. Mimpiku terasa bagai dlam pelayaran, ketika terbangun dari tidur aku mengira sudah sampai di pulau harapan untuk aku temukan jawaban, tapi ternyata aku masih berada di tenngah gemuruh ombak dalam skeptis antara aku tenggelam dan mati atau aku mesti sampai ke pantai pasir putih ke pulau cinta bersemi.

Sungguh perantauan cinta ini memaksa gelisah dan juga lara yang tiada terlihat dalam luka, kadang aku berpikir untuk kembali bagai matahari yang ingin pulang keharibaan ufuk manghribi untuk aku dapati kesejukan dalam hati yang tentram terpeluk malam. Dalam perasaan begini aku hanya terus membumbung doa seluas langit, lautan, seluas cakrawala tuhan yang di bentangkan di atas alam, sebab aku hanya kuasa memohon hidayah, jika memang benar cinta akan menjadi anugrah, ku yakin tuhan tidak akan salah menghadirkan hidupku kealam dunia.Dan yang terahir aku berdoa, semoga ini menjadi jalan yang tuhan meridhoi.

Inilah sepintas cerita kupu-kupu yang hinggap di kebun bunga untuk mencari madu yang akan di jadikan penawar emosi yang berlaga dalam perasaan penantian menunggu jawaban cinta, dalam cerita singkat ini, seakan ada pembelajaran kesabaran Ibrahim untuk mendapat kebenaran, ada pembelajaran Musa hingga mendapat kemulyaan, dan juga ada pembelajaran Adam untuk mengapai Mawaddah Wa Rohmah, semoga tuhan masih menghendaki yang demikian. Aminn.

CATATAN KE II

Kala semua orang bilang penantian membosankan dan mennggelisakan bahkan menjengkelkan, itu memang benar. Tapi kebenaran akan tetap menjadi kebenaran. Keyakinan dalam ketulusan mesti harus tercapai walaupun mesti menjadi rasa yang sangat pahit. Lama dalam penantian, lewat SMS tak ada jawaban cintaku yang ku harap di merdekakan oleh wanita gadis pujaan yang jadi pilihan, tapi malah menjadi waktu yang mengasingkan antara emosi dan perasaan, sehingga keyakinan hidup menjadi rapuh menyandarkan asa yang tak pernah di ketahui apakah memang telah mati, dalam kenyataan ini aku tuliskan rasa bimbang yang dalam dengan susunan kata, sebagai perjalanan rasa “Hidup Tersalib Rasa Cinta”.

Apa yang harus aku lakukan.

Kala cinta menjadi tiang salib dalam hidupku.

Kaki tak dapat di langkahkan.

Tangan telentang dalam ikatan.

Pandangan hanya melotot dalam ratapan.

Suaraku pasrah pada kodrat suratan

Biarlah cinta meninggalkanku.

Menanti Menunggu.

Atau aku harus menangis.

Aku hanya terus bertanya .

Siapakah sebenarnya sang pencinta .

Bila gereja jiwa membuat aku bingung.

Dan bahkan mungkin aku harus menangis . Pujaan hati seakan mngantarkanku .

Pada asa yang menyeksaku.

Bahkan membunuh semangatku.

Haruskah keyakinan cinta.

Mesti turunkan gerimis air mata

Dalam galau penuh kerisauan, aku terkadang merasa menyesal terhadap apa yang telah aku perbuat terasa berada dalam kebodohan yang terus menyeksa. Tapi dalam kesunyean kala aku harus berpikir jernih rasa cinta yang membangun ketulusan hati tak kuasa aku ingkari sebelum aku temukan kuburan cinta entahlah diriku sendiri yang menjadi nisan dalam kehidupan.

Berjalan bersama harapan yang penuh dengan rasa setres dalam jiwa yang harus aku alami, hanya kuasa berkirim pesan lewat handpone untuk bisa berkomonikasi dengan dia gadis yang paling aku kagumi, karena pada waktu ini aku kebetulan pulang berada di tanah daerahku di pulau madu maduraku tercinta, aku hanya bisa berkirim pesan sebagai berikut, sebab aku merasa penuh kesalahan seakan aku egois, karena memang aku sudah tak bisa lagi menahan emosi yang terus memaksaku untuk memberontak dalam kearifan nurani yang sudah mengering penuh harapan cinta untuk bisa menyejukkannya.

Kuasaku, hanya bisa kirim berita cemas yang penuh harap melalui bahasa yang mati terkirim melalui layar handponku dengan bahasa berikut, ”maafkanlah semuanya yang terjadi, mungkin itu semua turun dari sikap dan pemikiran picikku yang tak mampu ku kendalikan dalam kebodohan dan ketololan, sehingga jalan yang begini mesti menjadi barisan langkah yang terbata dan mengantarkanku untuk memilihmu sebagai pilihan hati. Aku tahu hari ini tak hidup dalam akal sehatku dan aku tak mampu berbuat arif untuk membedakan egoisku dan suara hatiku, kekuatan cinta terjadi dalam hidupku bagai kemiskinan melanda dalam hidup yang harus aku jalani untuk terus memaksa melawan suratan yang seakan tercipta dalam nestapa.

Sungguh ini adalah pelajaran sekaligus yang menantangku, antara aku sebagai makhluk tuhan dan individu, yang hanya mampu berperasaan untuk merasakan nikmatnya kehidupan dan penderitaan yang telah tuhan anugrahkan. Dalam benakku hanya terus bertanya mungkinkah tuhan hendak menguji hamba seperti aku yang hanya punya kekayaan rasa untuk mencintai dengan tulus dalam keyakinan.

Terbendung semuanya dalam kantong harapan, keindahan rasa menjadi catik dalam bayangan menjadi pilihanku untuk mencintai seorang gadis yang penuh sopan santun, tak sedikitpun ada cela cinta yang tersimpan di pelupuk mataku membuat aku tak bisa melupakannya. Sungguh keyakinan ini memaksaku, aku lagi-lagi menjadi bertanya. Mungkinkah kematian seorang Al-Hallaj, menjadi jalan yang tersisa untuk aku terpuruk dalam keyakinan cinta yang tak pernah ada orang lain yang tahu, sekalipun tahu takkan pernah ada orang yang perduli. Tapi biarlah kebenaran ini mencipta legenda, atau sejarah hidupku dengan sendirinya untuk mencari kodratnya sendiri di atas alam.

Setelah aku temukan tubuhku telah lelah tanpa daya. Aku berpikir kembali tentang keyakinan diri, tentang kejujuran yang terungakap dengan semua rasa dalam perasaan, walau dalam hati masih bilang ”bahwa aku mencintainya” walau mesti masih menjadi tangis yang harus ku tangisi, karena gadis itu tetap menjadi pilihan yang masih taki dapat aku menggenggam dengan ketulusan saling mencinta. Teruslah bersama jalanan aku membawa pertanyaan yang sangat mempusingkan tak kepalang membeku diotakku. Sampainya disini aku menuliskannya kembali sebuah puisi, karena wanita ini benar-benar menjadi nafas cinta dalam hidupku.

Disini mekar bagai mawar

Terkenang senyummu yang menancap di kalbuku

Hidup bagai setangkai gubahan melati

Membawaku berhayal sepanjang hari

Bayanganmu tak kuasa ku buang di kelopak mata ini

Membawaku tak nyenyak dalam tidur

Usang dalam asa dan lamunan

Tergantung semuaku

Bagai ranting bernafas dalam cintamu

Tapi aku bukan dirimu

Dan kaupun bukan diriku

Aku hanya bisa hidup di sekeliling cintamu

Hingga ragaku membatu dalam penantian

Saat terbit mentari aku memuja

Dalam malan yang sunyi aku mendamba purnama

Tapi tak ada yang lebih semuanya

Tak aku temukan kehidupan cinta disana

Hanya dirimu yang tertulis menjadi kalimat cintaku

Hingga membuat ragaku bergerak dan bersemanmgat

Menjadi nafas cinta abadi hidupku

Bangkitkan hasrat dan jantung hati

Sungguh engkaulah yang mengajari aku

Belajar menjadi karang hati

Yang harus tertulis kalimat-kalimat ombak

Menjadi pahatan risalah cinta

Berjalan dalam keadaan penuh perasaan sangat membuat fikiran pening untuk mencari kebijakan diri. Lalu aku mengevaluasi diri dan seakan bilang pada diriku sendiri, ahwa aku kasar, dan tindakanku kejam demi ketusan dalam egoisku sendiri membawa hasrat untuk penuh ketulusan dan kejujuran dan kesetiaan yang aku yakini sebagai kebaikan. Terasa semua ini harus bagai kebaikan ynag pasti aku perjuangkan. Dalam aku hidup bagai risaunya patriotik demi menjaga martabat bangsa dan negara.

Dalam realita seperti ini, bahasa nuraniku seakan berkata. Biarlah perhargaan tak sebanding dengan penderitaan takkan pernah aku untuk mengkalkulasikan sebagai kerugian. Karena aku tetap bangga walau hanya sedetik jiwa cinta ini merdeka. Dari pada nafu egoisku menjadi tirani dalam jiwaku, hingga aku harus mati dalam bodoh dan tololnya penyesalan.

Perjalanan hampa ini, sungguh menguras air mata untuk menjadi tinta yang usil dalam lidi penaku, untuk tercatat leganda yang disucikan oleh hayalan dan renungan terus berharap dapati cinta yang di ridhoi tuhan. Memang semuanya ini adalah buah renungan, harapan, ratapan, kehampaan, kerinduan, rasa risau, gelisah yang berputar dalam roda jiwa menjadi kata yang sangat aku banggakan.

CATATAN KE III

Setelah perjalan cukup melelakan. Aku tersadar akan semuanya terhadap apa yang telah kau alami dalam jiwa yang terhukum dalam sarang cinta. Aku rasakan banyak kesalahan yang telah aku perbuat pada seorang gadis yang menjadi pujaan jiwa tak pernah bosan rindukan cinta.

Aku seakan mendengar bisikan hatiku. Bagai interuksi memaksaku memahami hidup yang sejati “ jangan jadikan orang disekelilingmu menjadi penyakit dengan kehadiranmu” inilah bisik jiwaku yang dapat aku dengarkan dengan nurani.

Kemudian aku hanya bisa meminta dengan permohonan kata maaf. Melalui surat telepon genggam aku tuliskan kepada dia, “ maafkanlah semuanya yang terjadi. Mungkin itu semua yang telah aku perbuat padammua adalah buah pemikiran picikku. Serakahku yang tak pernah bisa aku kendalikan. Sehingga jalan yanng begini mesti menjadi barisan langkah yang terbata. Untuk aku lahir memilih-pilihan dalam keberadaanmu. Akal sehatku tak mampu berbuat arif untuk membedakan egoisku dan suara nurani. Karena kekuatan cinta yang terjadi dalam hidupku. Laksana kemiskinan yang melanda dan terjadi dalam hidupkuk yang membutuhkanmu. Aku hanya bisa diam dan bisu dalam siksa jiwa terus membawaku menjadi berharap dalam kehampaan. Demi harapan ini yang telah memilihmu dalam indahnya kecantikan yanng tak bisa aku lupakan. Sehingga aku tak kuasa menelan bodohnya ketololan diri. Keyakinan ini memaksaku untuk jujur ungkapkan semua rasa. Dalam perasaan (bahwa aku mencintaimu).

Aku rasakan semuanya dan menjadi tanngis yang harus aku tangisi. Karena dia menajdi pililhan yang takku dapat dengan tambang cinta. Dari semua ini aku terus bertanya dan berharap kesetiaan. Karena kodrat rasa dalam jiwa ini, bagai tanah yang kering dan gersang butuhkan setetes air. Walau itu harus terjadi dalam gerimis air mataku sendiri. Aku yakin untuk menanam benih cinta mulia ini yang panjang aku bawa dalam kelana.

Dari perjanan ini. Lalu rasa bimbang , rasa takut, terus terjadi dalam aku berkomunikasi dengan suara hatiku sendiri. Sehingga aku bagai temukan diriku. Benar=benar berada dalam kelemahan dan ketakberdayaan. Seakan ada kekuatan yang lain terjadi dalam diriku dan membawaku melamun dan berhayal. Dan aku terus menjadi penanya bagi perasaan yang tak pernah aku tahu. Tanyaku “ benarkah ini kekuatan cinta? Adakah yang aku alami akan jadi hadiah cinta? Dan mungkinkah aku akan bisa menngenggam manjadi nyata?. Aku terus bertanya keabadian cinta entahlah dimana berada. Disinilah aku menemui perasaan diri. Ternyata berat aku melawan diri. Aku seakan tak bijak menimbang hak asasi seorang saudari. Dan aku seakan terlalu bernafsu memaksakan kehendak karena memang telah menjadi surga rasa dalam ketulusan dan keyakinan hati.

Kisah menjadikan aku. Tak tahu lagi akan keindahan dan warna yanng manawan dimata ini. Tak ada lagi pujaan kecantikan dalam diriku. Tak ada lagi bunga yang harum di sekekelilingku. Kala dirimu mesti kecewakan aku. Kala dirimu mesti tak bisa jujur dalam kesetiaanmu, yang mesti akan ku tunggu sepanjang nafas zaman masih berhembus ditenggorokan. Dan juga kisah ini bisa membuat aku berbolak-balik dalam pikiran yang aku tak pernah tahu kapan akan berakhir. Sendirianku bergumam demikian, “ tegakah dirimu membunuhku yang sangat percaya akan kekutan cinta”.

Sambil aku renungkan apa yang telah aku ucapkan. Aku meraba-raba apa yang telah aku lakukan. Aku menjadi berpikir kembali dengan pertanyaan. Apakah sikapku kasar dan munkinkah tindakanku kejam demi apa yang sangat akua yakini.

Namun pada hakikatnya aku hanya melawan jatuhnya harga diri. Sementara yang aku harapkan bukanlah hadiah penghargaan. Aku hanya ingin biarpun sedetik jiwa ini merdeka dari pada nafsu egois menjadi tirani dalam diri yang kemudian membuat aku harus membayar dengan penyesalan karena kegagalan untuk menyesali apa yang tak pernah aku coba bertaruh harga diri dihadapan orang yang paling disayangi.

Sekarang tak ada lagi yang dapat aku ceritakan dalam usilnya lidi pena dijariku ini. Selain renungan, ratapan,harapan, kehampaan, kerinduan dalam rasa risau dan kegelisahan yang berputar dalam roda jiwa. Tapi realita ini sangat aku banggakan, karana aku bisa merinduimu. Dan kenyataan ini yang membuat aku tak bisa berbuat banyak, ternyata tidak membuiat aku bisa menjadi putus asa. Terasa tak berdenyut di jantungku kala aku harus menjadi lelaki yanng prustasi. Karena keyakinan dalam ketulusan telah menjadi nadi yang mampu cairkan darah cinta.

Sebelum tinta air mata dalam gelisah jiwa ini menjadi kidunng epilog harapanku. Izinkan bunga cintaku hidup hingga mekar dalam kebun hatimu. Demi aku yang hanya berharap dan memohan kejujuran dan ketulusanmu. Tapi sekali lagi maafkan aku atas kelancangan yang telah aku perbuat untukmu. Sebab tuhan seakan tidak memperkenalkan aku pada engkau dalam kecantikan dan keindahan. Melainkan memperkenalkan aku pada dirimu dengan rasa cinta yang memaksaku untuk tulus menjadi seorang pencinta yang pasrah dan tak takut terhadap apa yang harus dialami. Inilah yang tak bisa aku tolak hadirnya dalam jiwa sebagai suratan. Tak pernah aku impikan aku pinta dalam doa . ini terjadi seketika disaat mataku tersinggah dalam keangguna dan kecantikanmu. Sungguh engkau bagai anugrah dan hidayah. Trkadang juga bagi musuh dalam percaturan jiwaku. Nammun mesti harus aku lawan semuanya. Rasa takut dan bingungpun terjadi. Dan hanyna satu alasan yang bisa membuat aku tegar. Aku memilih dengan kata ungkapkan cinta. Inilah yang aku pertaruhkan untuk cinta sebagi bukti aku bukan pengecut. Walaupun aku bagai anak tawanan menjadi lelaki yang mesti berharap pada belas kasih seorang wanita.

Setelah aku ungkapkan dengan penuh keyakinan. Aku hanya bisa berharap menanti jawaban pasti. Aku menanti jawabannya sebagai syarat untuk aku bisa melepas gelisah dan sengsara melawan raga jiwa.